Di Atas Serambi

Suara langkah kaki kanak-kanak terdengar mendekati pintu rumah sederhana milik Airin. Tak berapa lama terdengar salam,” Selamat sore Kak Irin.” Senyum mengembang di bibir mungil Airin saat kanak-kanak itu berebutan masuk dan menuju serambi kecil tempat mereka belajar.

Adalah sebuah ritual bagi Airin setiap hari Selasa dan Kamis sore untuk mengajar kanak-kanak yang tak mampu di sekitar rumahnya. Meski kemiskinan hadir di sela nafas, mereka tetap bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru. Bukan demi titel, juga bukan demi selembar ijazah melainkan demi memuaskan rasa keingintahuan mereka akan sebuah pengetahuan.



Airin segera menyiapkan buku dan alat-alat tulis. Metode belajar yang Airin lakukan sederhana. Untuk 1 jam pertama, mereka akan belajar memperlancar bacaan dan berhitung. Jam berikutnya, Anak-anak boleh bertanya apa saja asal masih dalam batas kewajaran. Untuk itu Airin sudah mempersenjatai diri dengan berbagai macam ensiklopedia, buku-buku dan Koran. Untung saja sejak kecil Bunda Airin selalu membelikan buku daripada mainan. Kata Bunda Airin,”Kalau buku meski sudah tua dan rapuh tapi masih akan menyimpan pengetahuan berbeda dengan mainan yang bila sudah rusak akan teronggok begitu saja.” Airin tersenyum lembut mengingat petuah Bunda.

Murid-murid Airin ada lima orang. Edi yang menjadi pemulung karena memulung adalah profesi keluarga besarnya. Abdul yang putus sekolah saat kelas 2 SD karena ketiadaan biaya dan sekarang membantu ibunya mencari nafkah dengan menjadi loper Koran. Si kecil Anti yang sudah 2 tahun dipaksa ibunya untuk menjadi pengemis di kolong jembatan layang. Ahmad si pedagang asongan adalah yang tertua di antara mereka,10 tahun umurnya dan tidak pernah mengecap bangku sekolah. Dan Ika, adik Ahmad yang menjadi pengamen di lampu merah pojok kota.

Dulu, Airin melihat Ahmad yang minta dibacakan sepotong berita yang terpampang di halaman muka Koran terkemuka kepada Abdul. Abdul membaca dengan terbata-bata. Di situlah batin Airin terketuk. Ia, mahasiswi beasiswa IKIP bisa belajar dengan leluasa. Merengkuh cakrawala aksara tanpa batas, sedangkan mereka yang ingin melihat cakrawala itu tak mampu bahkan untuk lancar membaca. Airin menghampiri Ahmad dan Abdul, berkenalan dan mengajak mereka untuk bermain dan belajar di rumahnya. Sejak itulah sekolah kecil mereka dimulai.

“ Kak Irin, Anti mau tahu pahlawan itu apa sih?” Tanya Anti polos seraya menunjuk sampul buku Pahlawan-pahlawan Belia*.

Airin tersenyum, “Pahlawan dalam arti sebenarnya adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran**.”

“ Jadi mereka bisa siapa aja ya Kak?” Ahmad bertanya serius.

“ Iya. Jadi pahlawan itu bukan sebatas orang yang mengangkat senjata. Guru juga pahlawan. Bahkan Ibu kalian juga sebenarnya pahlawan karena mereka sudah mati-matian berjuang melawan maut untuk melahirkan kalian.” Terang Airin. Mereka ber-ooo panjang.

“ Tapi ibu Anti malah nyuruh Anti jadi pengemis Kak. Masa dia jadi pahlawan?” Anti kecil protes pada Airin.

Airin menghela nafas. Kemiskinan itu biang keladinya ingin ia berteriak. Tapi tatapan polos anak-anak itu mengurungkan niat Airin. Negara ini sudah tua, mulai bobrok di sana sini. Tapi bukan berarti jiwa mereka harus ikut bobrok.

“ Sebenarnya Ibu kalian itu juga mau kalian hidup nyaman. Tidur dengan perut kenyang. Belajar di sekolah bukan di rumah Kakak yang sempit ini. Tapi keadaan tidak memungkinkan. Ketidakseimbangan ekonomi tidak merata. Kurang pengetahuan menjadi penyebab kemiskinan.”

“ Kalau gitu aku mau belajar banyak Kak. Biar pintar dan nggak miskin lagi.” Seru Edi. Airin mengelus kepalanya.

“ Terus kalau sumpah pemuda itu apa Kak?” Tanya Ika seraya menunjuk headline media.

Terbayang dalam benak Airin saat Kakek Buyut menimangnya di pangkuan dan bercerita tentang sumpah pemuda yang diikutinya. Ketika seluruh pemuda Indonesia bersumpah akan menjalin persatuan. Yang seiring dengan waktu, makna sumpah pemuda sendiri semakin memudar.

“ Sumpah pemuda itu hari dimana perwakilan seluruh pemuda daerah di Indonesia bersumpah akan menjalin persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Itu sebabnya dulu Negara kita di sebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

“ Para pemuda itu, mereka juga pahlawan Kak?” Mata bulat Abdul bersinar jenaka.

“ Iya mereka juga pahlawan. Mereka berani memperjuangkan kebenaran untuk bersatu. Jangan lupa, tahun 1928 itu Indonesia belum merdeka. Jadi sumpah pemuda itu yang membimbing para pemuda untuk meraih kemerdekaan.”

“ Hebat ya Kak pemuda-pemuda itu.” Kata Anti, lalu lanjutnya, “ Anti juga mau jadi pahlawan Kak.”

Airin tertawa. Dicubitnya gemas pipi Anti yang coklat terbakar matahari Jakarta. “Anti bisa kok jadi pahlawan. Ajak teman-teman Anti kesini. Jadi kita bisa bermain dan belajar bersama.”

Mata Anti bersinar bagai lilin di kegelapan lalu mengangguk. Airin menerawang memandang tempat lusuh yang terlupakan di sudut Jakarta dari serambi kecilnya. Gubuk-gubuk tumpang tindih dengan kemiskinan yang menyengat. Ditatapnya mata polos para kanak-kanak yang berharap tumpangan menuju cakrawala aksara darinya. Aku tidak dapat mengangkat senjata untuk membela mereka, juga tidak dapat memberi mereka kenyamanan hidup. Aku hanya dapat mengangkat pena dan memberi pengetahuan pada mereka agar mereka dapat menyongsong masa depan di tengah kelusuhan. Memberi sesuatu yang berwarna di tengah kesemrawutan Kota. Airin berbisik lirih sementara mentari memerah dan turun dari peraduan di ufuk barat.

***
241007 – Fatmawati.
* Judul: Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik,
Penulis: Saya Sasaki Siraishi, Penyunting: Seno Gumira Ajidarma dan
Pax Benedanto, Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta 2001
** Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum