SuaTu sOre

Re membuang tatapan matanya ke arah macetnya ibukota pada jam pulang kerja.

Ia menghela nafas. Membuang penat. Mengusir galau. Menekan pedih yang tiba-tiba datang menyapa.

Ingatan Re menyapa pada siang hari tadi. Saat jam makan siang, mereka kembali bertemu.

“Kita sebaiknya putus Re,” ucap Ai pelan.

“Kenapa?” tanya Re mencari sebuah kejujuran di mata Ai.

“Karena kita memang tak bisa bersama. Kamu tahu pasti kenapa kita tak bisa bersama.”

Re menelan gundah. Mereka memang tak bisa bersama. Ia tahu itu. Mereka punya dunia masing-masing. Ai mempunyai dunianya sendiri.

Re kembali menghela nafas. Berat.

Dilihatnya sepasang muda mudi yang duduk di halte menunggu bus. Debu dan panas seolah tak mampu mengahalau cinta mereka. Mungkin mereka telah menunggu kedatangan bus tujuan mereka selama bermenit-menit. Mungkin mereka lelah setelah bekerja seharian. Tapi lihat. Cara gadis itu bergantung pada lelakinya, cara gadis itu memandang lelakinya. Mereka punya cinta dan cinta mereka diakui.

Tak ada seorang pun yang mengakui cintaku dan Ai, pikir Re getir.

Jalinan ingatan memang gemar menyiksa, rintih Re pelan. Ia terus teringat dan terus mengingat kejadian siang tadi.

“Biarkan perasaan ini mengkristal Re.”

“Tapi detak jantung ini terus berdegup Ai.”

“Kau harus belajar melupakanku Re. Lupakan aku.”

Lalu Ai pergi. Kembali ke jalan kecilnya yang sempat terlupakan. Kembali pada ikatan cincin di jari manisnya. Dan Re menangis dalam hati. Di tengah-tengah kemacetan yang meraja.

****

Seandainya dapat kuberkata

Seandainya saja kita bertemu 3 tahun 2 bulan dan 20 hari lebih awal

Mungkin cincin di jari manismu

Adalah cincin yang mengikat aku dan kamu

Tapi kita hanyalah manusia yang terikat pada takdir

Dan hidup kita adalah sebuah panggung kehidupan

Bahkan lebih kejam

Darah adalah darah

Dan airmata adalah airmata

****

Gatsu – 150507

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum